Kamis, 10 Juni 2010

spons

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Kanker masih merupakan salah satu penyakit penyebab kematian utama di dunia. Berbagai macam senyawa telah dikembangkan melawan kanker, akan tetapi tak satupun jenis senyawa-senyawa tersebut menghasilkan efek yang memuaskan dan tanpa efek samping yang merugikan. Usaha eksplorasi senyawa-senyawa baru antikanker terus dilakukan dengan sifat penghambatan yang lebih baik.
Spons merupakan salah satu sumber senyawa-senyawa baru dari biota laut yang memiliki aktivitas farmakologis. Keanekaragaman hayati perairan laut Indonesia memberi peluang untuk memanfaatkan spons laut Indonesia untuk pencarian senyawa bioaktif yang baru.
Banyak penelitian dilakukan untuk mencari senyawa antikanker baru dengan harapan sifat yang lebih baik. Spons merupakan salah satu sumber senyawa-senyawa baru dari biota laut yang mempunyai keanekaragaman hayati tinggi. Penelitian yang telah ada terhadap spons telah menghasilkan senyawa-senyawa baru dengan struktur unik dan memiliki aktivitas farmakologis.















BAB II
ISI

2.1 EKOLOGI DAN MORFOLOGI SPONS
Hampir 75% jenis spons yang dijumpai di laut adalah dari kelas Demospongiae. Spons dari kelas ini tidak memiliki spikula “triaxon” (spikula kelas Hexactinelida), tetapi spilkulanya berbentuk “monaxon”, “tetraxon” yang mengandung silikat. Beberapa jenis spons kelas ini ada yang tidak mengandung spikula tetapi hanya mengandung seat-serat kolagen atau sponging saja.
Morfologi luar spons sangat dipengaruhi oleh factor fisik, kimiawi, dan biologis lingkungannya. Spesimen yang berada di lingkungan terbuka dan berombak besar cenderung pendek pertumbuhannya atau juga merambat. Sebaliknya specimen dari jenis yang sama pada lingkungan yang terlindung atau pada perairan yang lebih dalam dan berarus tenang, pertumbuhannya cenderung tegak dan tinggi. Pada perairan yang lebih dalam, spons cenderung memiliki tubuh yang simetris dan lebih besar sebagai akibat dari lingkungan yang lebih stabil apabila dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup pada perairan dangkal.
Diameter oskula spons juga dipengaruhi oleh suhu, ombak, kekeruhan, sedimen, tekanan dan kecepatan arus air. Spons yang berada di lingkungan yang keruh dan berarus keras, oskulanya cenderung berada di puncak permukaan tubuh atau kadangkala menyerupai cerobong.
Predator dan juga kompetisi juga dapat mempengaruhi morfologi dari spons, beberapa jenis dari opisthobranchia, prosobranchia, dan echinodermata dikenal memangsa spons. Sehingga secara evolusi, spons akan beradaptasi untuk menghindar dari predator-predator tersebut, misalnya berubah menjadi spons pengebor (SOEST unpublished). Spons juga berkompetisi dengan alga dan karang dalam hal mendapatkan cahaya. Pada lingkungan yang agak gelap (mungkin terhalang atau di perairan yang agak dalam), spons berhasil mendapatkan cahaya, misalnya secara evolusi spons berhasil tumbuh di antara sela-sela alga dan karang dengan bentuk tubuh bercabang.
Beberapa spons memiliki warna yang berbeda walaupun dalam satu jenis. Beberapa spons juga memiliki warna dalam tubuh yang berbeda dengan pigmentasi luar tubuhnya. Spons yang hidup dilingkungan yang gelap akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup di lingkungan yang cerah. Warna spons tersebut sebagian dipengaruhi oleh fotosintesa mikrosimbionnya. Mikrosimbion spons umumnya adalah cyanophita (cyanobakteria dan eukariot alga seperti dinoflagella atau zooxanthella (Wilkinson, 1980).
Spons adalah hewan “filter feeder” yang menetap, dimana hewan ini dapat hidup dengan baik pada arus air yang kuat, karena aliran air tersebut menyediakan kumpulan makanannya dan oksigen. Makanan spons terdiri dari detritus organik seperti bakteri, zooplankton, dan phytoplankton yang secara elektif ditangkap oleh sel-sel berbulu cambuk. Spons dapat menyaring partikel yang sangat kecil (diameter < 50μm) yang tidak tersaring oleh hewan-hewan laut lainnya (Bergquist, 1978).
Spons dari jenis Mycale hidup bersimbiosa dengan karang (Tubipora), dimana hidup dalam rongga karang tersebut. Sedangkan spons pengebor seperti Cliona hidup pada substrat yang berkapur, seperti pada cangkang moluska, karang, dan coralline algae. Spons pengebor dapat menyebabkan bioerosi terhadap karang. Tetapi ada beberapa jenis spons yang dapat mengikat beberapa patahan-patahan karang sampai tumbuh menjadi karang baru (Wulff, 1984).
Beberapa hewan laut seperti kerang, kepiting, tunicata, polychaeta, amphipoda, isopoda dapat hidup atau berlindung secara menetap atau sementara di dalam spons. Jadi spons juga merupakan habitat bagi hewan-hewan lainnya yang lebi kecil darinya (Bergquist, 1978).











2.2 AKTIVITAS BIOLOGI
Sponge merupakan salah satu sumber senyawa-senyawa baru dari biota laut yang memiliki aktivitas farmakologis. Sponge merupakan jenis hewan laut yang hidup pada lingkungan terumbu karang. Diperkirakan terdapat lebih dari 5.000 spesies yang terdapat di alam dan dibagi atas tiga kelas yaitu Calcarea, Desmospongia, dan Hexactinelida (Marderozian, 1974; Barrow, 1983). Di Indonesia jenis-jenis sponge yang ditemukan 90% dari Desmospongia (Van Soest, 1989).
Spons merupakan sumber penghasil senyawa bioaktif terbesar diantara invertebrate laut lainnya. Dalam decade terakhir, dilaporkan bahwa sebanyak 50% senyawa bioaktif yang ditemukan dalam invertebrate lautm berasal dari filum porifera. Produksi metabolit sekunder dari spons merupakan kompensasi akibat interaksi dengan lingkungan biotic, abiotik, dan sebagai senjata kimia terhadap predator (Herbert, 1995).
Salah satu pemicu produksi senyawa terpene, poliketida dan alkaloid oleh spons adalah adanya kompetisi dengan koral dan untuk mencegah infeksi bakteri pathogen. Substansi kimia yang dihasilkan oleh spons sebagai efek kompetisi dengan lingkungannya diantaranya adalah terpen 7-deacetoxyolepupuane yang juga dapat menyebabkan kematian terhadap jenis spons Cacospongia sp, serta sebagai senjata kimia terhadap predator ikan Promacanthus imperator (Herbert, 1995).
Dalam siklus hidupnya, spons pun tidak terlepas dari organism lain (simbiosis), salah satunya dengan bakteri. Interaksi antara organisme yang hidup dilingkungan akuatik sangat beragam dan peran penting pada interaksi tersebut dimainkan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme banyak yang ditemukan tumbuh secara komensal di permukaan juga di dalam berbagai binatang akuatik, beberapa diantaranya terdapat di organ pencernaannya dimana sejumlah bakteri sering terdapat. Mikroorganisme dimakan dan digunakan sebagai makanan oleh sejumlah hewan yang hidup baik itu di sedimen maupun di perairan sehingga
faktor nutrisi. Beberapa hewan dapat hidup dengan sejumlah tetentu bakteri maupun fungi (Herbert, 1995).
Lubang yang porus pada spons mengandung sejumlah koloni bakteri (Bertrand dan Vacelet, 1971 dalam Rheinhemer, 1991). Hasil penelitian terhadap spons Microcionia prolifera, ditemukan bakteri dari genus Psedomonas, Aeromonas, Vibrio, Achromobacter, Flavobacterium dan Corynebacterium serta Micrococcus yang biasa terdapat di perairan sekitarnya (Madri et al., dalam Rheinhemer, 1991).
Pola makanan spons yang khas yaitu filter feeder (menghisap dan menyaring) dapat memanfaatkan jasad renik disekitarnya sebagai sumber nutrien diantaranya bakteri, kapang dan xooxanthela yang hidup pada perairan tersebut. Sedangkan kapang, bakteri dan xoxanthelae hidup dan berkembang biak dengan memanfaatkan nutrien yang terdapat pada spons tersebut. Myers et al (2001) melaporkan bahwa terdapat hubungan simbiotik antara
spons dan sejumlah bakteri dan alga, dimana spons menyediakan dukungan dan perlindungan bagi simbionnya dan simbion menyediakan makanan bagi spons. Alga yang bersiombiosis dengan spons menyediakan nutrien yang berasal dari produk fotosintesis sebagai tambahan bagi aktifitas normal filter feeder yang dilakukan sponge (Herbert, 1995).
Pembentukan senyawa bioaktif pada spons sangat ditentukan oleh prekursor berupa enzim, nutrien serta hasil simbiosis dengan biota lain yang mengandung senyawa bioaktif seperti bakteri, kapang dan beberapa jenis dinoflagellata yang dapat memacu pembentukan senyawa bioaktif pada hewan tersebut (Scheuer, 1978 dalam Suryati et al, 2000). Senyawa terpenoid dan turunannya pada berbagai jenis invertebrata termasuk spons atau beberapa spesies dinoflagellata dan zooxanthelae yang memiliki senyawa –senyawa yang belum diketahui, yang kemudian diubah melalui biosintesis serta fotosintesis menghasilkan senyawa bioaktif yang spesifik pada hewan tersebut (Faulkner dan Fenical, 1977 dalam Suryati et al, 2000).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suryati et al (2000), terhadap sejumlah spesies spons yang hidup di perairan Spermonde, Sulawesi Selatan, kelimpahan kapang dan bakteri yang bersimbiosis cukup bervariasi pada sponge seperti diperlihatkan pada Tabel 2. Kelimpahan jenis bakteri yang diisolasi dari spons pada umumnya didominasi oleh bakteri Aeromonas, Flavobacterium, Vibrio sp, Pseudomonas sp. Acinebacter dan Bacillus sp.


2.3 SENYAWA YANG TERKANDUNG


Beberapa tahun terakhir ini peneliti kimia memperlihatkan perhatian pada spons, karena keberadaan senyawa bahan alam yang dikandungnya. Senyawa bahan alam ini banyak dimanfaatkan dalam bidang farmasi dan harganya sangat mahal dalam katalog hasil laboratorium (Pronzato et, al., 1999). Ekstrak metabolit dari spons mengandung senyawa bioaktif yang diketahui mempunyai sifat aktifitas seperti: sitotoksik dan antitumor (Kobayashi dan Rachmaniar,1999), antivirus (Munro et, al., 1989), anti HIV dan antiinflamasi, antifungi (Muliani et, al., 1998), antileukimia (Soediro, 1999), penghambat aktivitas enzim (Soest dan Braekman, 1999). Selain sebagai sumber senyawa bahan alam, spons juga memiliki manfaat yang lain, seperti: 1) digunakan sebagai indikator biologi untuk pemantauan pencemaran laut (Amir, 1991), 2) indikator dalam interaksi komunitas (Bergquist, 1978) dan 3) sebagai hewan penting untuk akuarium laut (Riseley, 1971; Warren, 1982).
2.3. SENYAWA YANG DIHASILKAN
Senyawa kimia terutama senyawa organik hasil metabolisme dapat dibagi dua yaitu yang pertama senyawa hasil metabolisme primer, contohnya karbohidrat, protein, lemak, asam nukleat, dan enzim. Senyawa kedua adalah senyawa hasil metabolisme sekunder, contohnya terpenoid, steroid, alkaloid dan flavonoid. Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan di alam. Hampir seluruh alkaloid berasal dari tumbuh-tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan tingkat tinggi. Sebagian besar alkaloid terdapat pada tumbuhan dikotil sedangkan untuk tumbuhan monokotil dan pteridofita mengandung alkaloid dengan kadar yang sedikit (scheuer, 1994).
Selanjutnya dalam Meyer’s Conversation Lexicons tahun 1896 dinyatakan bahwa alkaloid terjadi secara karakteristik di dalam tumbuh- tumbuhan, dan sering dibedakan berdasarkan kereaktifan fisiologi yang khas. Senyawa ini terdiri atas karbon, hidrogen, dan nitrogen, sebagian besar diantaranya mengandung oksigen. Sesuai dengan namanya yang mirip dengan alkali (bersifat basa) dikarenakan adanya sepasang elektron bebas yang dimiliki oleh nitrogen sehingga dapat mendonorkan sepasang elektronnya. Kesulitan mendefinisikan alkaloid sudah berjalan bertahun-tahun (Herbert, 1995).
Definisi tunggal untuk alkaloid belum juga ditentukan. Trier menyatakan bahwa sebagai hasil kemajuan ilmu pengetahuan, istilah yang beragam senyawa alkaloid akhirnya harus ditinggalkan (Hesse, 1981).Garam alkaloid dan alkaloid bebas biasanya berupa senyawa padat, berbentuk kristal tidak berwarna (berberina dan serpentina berwarna kuning). Alkaloid sering kali optik aktif, dan biasanya hanya satu dari isomer optik yang dijumpai di alam, meskipun dalam beberapa kasus dikenal campuran rasemat, dan pada kasus lain satu tumbuhan mengandung satu isomer sementara tumbuhan lain mengandung enantiomernya (Padmawinata, 1995). Ada juga alkaloid yang berbentuk cair, seperti konina, nikotina, dan higrina. Sebagian besar alkaloid mempunyai rasa yang pahit. Alkaloid juga mempunyai sifat farmakologi. Sebagai contoh, morfina sebagai pereda rasa sakit, reserfina sebagai obat penenang, atrofina berfungsi sebagai antispamodia, kokain sebagai anestetik lokal, dan strisina sebagai stimulan syaraf (Ikan, 1969).
Alkaloid telah dikenal selama bertahun-tahun dan telah menarik perhatian terutama karena pengaruh fisiologinya terhadap mamalia dan pemakaiannya di bidang farmasi, tetapi fungsinya dalam tumbuhan hampir sama sekali kabur. Beberapa pendapat mengenai kemungkinan perannya dalam tumbuhan sebagai berikut (Padmawinata, 1995):
1) Alkaloid berfungsi sebagai hasil buangan nitrogen seperti urea dan asam urat dalam hewan (salah satu pendapat yang dikemukan pertama kali, sekarang tidak dianut lagi).
2) Beberapa alkaloid mungkin bertindak sebagai tandon penyimpanan nitrogen meskipun banyak alkaloid ditimbun dan tidak mengalami metabolisme lebih lanjut meskipun sangat kekurangan nitrogen.
3) Pada beberapa kasus, alkaloid dapat melindungi tumbuhan dari serangan parasit atau pemangsa tumbuhan. Meskipun dalam beberapa peristiwa bukti yang mendukung fungsi ini tidak dikemukakan, mungkin merupakan konsep yang direka-reka dan bersifat ‘manusia sentris’.
4) Alkaloid dapat berlaku sebagai pengatur tumbuh, karena dari segi struktur, beberapa alkaloid menyerupai pengatur tumbuh. Beberapa alkaloid merangasang perkecambahan yang lainnya menghambat.
5) Semula disarankan oleh Liebig bahwa alkaloid, karena sebagian besar bersifat basa, dapat mengganti basa mineral dalam mempertahankan kesetimbangan ion dalam tumbuhan.
Berdasarkan lokasi atom nitrogen di dalam struktur alkaloid, alkaloid dapat dibagi atas 5 golongan:
1. Alkaloid heterosiklis
2. Alkaloid dengan nitrogen eksosiklis dan amina alifatis
3. Alkaloid putressina, spermidina, dan spermina
4. Alkaloid peptida
5. Alkaloid terpena
Berdasarkan literatur, diketahui bahwa hampir semua alkaloid di alam mempunyai keaktifan biologis dan memberikan efek fisiologis tertentu pada mahluk hidup. Sehingga tidaklah mengherankan jika manusia dari dulu sampai sekarang selalu mencari obat-obatan dari berbagai ekstrak tumbuhan. Fungsi alkaloid sendiri dalam tumbuhan sejauh ini belum diketahui secara pasti, beberapa ahli pernah mengungkapkan bahwa alkaloid diperkirakan sebagai pelindung tumbuhan dari serangan hama dan penyakit, pengatur tumbuh, atau sebagai basa mineral untuk mempertahankan keseimbangan ion (http://www.membuatblog.web.id/2010/03/senyawa-alkaloid.html).
. Alkaloid secara umum mengandung paling sedikit satu buah atom nitrogen yang bersifat basa dan merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Kebanyakan alkaloid berbentuk padatan kristal dengan titik lebur tertentu atau mempunyai kisaran dekomposisi. Alkaloid dapat juga berbentuk amorf atau cairan. Dewasa ini telah ribuan senyawa alkaloid yang ditemukan dan dengan berbagai variasi struktur yang unik, mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit.
Dari segi biogenetik, alkaloid diketahui berasal dari sejumlah kecil asam amino yaitu ornitin dan lisin yang menurunkan alkaloid alisiklik, fenilalanin dan tirosin yang menurunkan alkaloid jenis isokuinolin, dan triftopan yang menurunkan alkaloid indol. Reaksi utama yang mendasari biosintesis senyawa alkaloid adalah reaksi mannich antara suatu aldehida dan suatu amina primer dan sekunder, dan suatu senyawa enol atau fenol. Biosintesis alkaloid juga melibatkan reaksi rangkap oksidatif fenol dan metilasi. Jalur poliketida dan jalur mevalonat juga ditemukan dalam biosintesis alkaloid (http://nadjeeb.wordpress.com/2009/09/24/bioaktif-alkaloid-dari-laut/).
Sebenarnya masih banyak metabolit sekunder dari spons yang berpotensi sebagai antikanker, namun bukan hanya anti kanker, metabolit sekunder dari sons juga bias digunakan sebagai antioksidan, antiviral, antibakteri dan masih banyak lagi.
Hal ini di karenakan banyaknya metabolit sekunder pada spons dan banyak pula turunan-turunan dari senyawa metabolit sekunder yang khas pada spons seperti :
• Terpenoid
• Seskuiterpena
• Furanoseskuiterpena
• Seskuiterpena isonitril
• Diterpenoid
• Furanoterpena C-21
• Sesterpena
• Karotenoid
2.4 MANFAAT DARI SENYAWA TERSEBUT

Sampai saat ini kanker masih merupakan salah satu penyakit penyebab kematian utama didunia. Berbagai macam senyawa telah dikembangkan melawan kanker yang meliputi senyawa-senyawa pengalkilasi, antimetabolit, obat-obat radiomimetik, hormon dan senyawa antagonis (Cram et al., 1992; Calabresi and Chabner, 1991; Hoppe et al., 1992; Lorgan et al.,1996).
Berikut adalah beberapa contoh senyawa alkaloid yang telah umum dikenal dalam bidang farmakologi :
Senyawa Alkaloid
(Nama Trivial) Aktivitas Biologi
Nikotin Stimulan pada syaraf otonom
Morfin Analgesik
Kodein Analgesik, obat batuk
Atropin Obat tetes mata
Skopolamin Sedatif menjelang operasi
Kokain Analgesik
Piperin Antifeedant (bioinsektisida)
Quinin Obat malaria
Vinkristin Obat kanker
Ergotamin Analgesik pada migrain
Reserpin Pengobatan simptomatis disfungsi ereksi
Mitraginin Analgesik dan antitusif
Vinblastin Anti neoplastik, obat kanker
Saponin Antibakteri

Dalam hal ini, masih di kembangkan penelitian mengenai alkaloid khususnya pada spons untuk dijadikan sebagai bahan farmasi (obat-obatan) selain dari pemanfaatan dalam bidang industry. Salah satunya senyawa alkaloid Vinkristin, dimana senyawa ini dapat bereaksi dalam menghentikan pertumbuhan sel yang liar atau sebagai antikanker dan mungkin juga bisa sebagai antioksidan (http://www.membuatblog.web.id/2010/03/senyawa-alkaloid.html).
.



BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Bahwa spons merupakan biota laut yang memiliki banyak potensi yang dapat dimanfaatkan secara optimal. Salah satu senyawa yang terdapat pada spons yaitu alkaloid dapat dijadikan sebagai bahan bat anti kanker, senyawa ini dihasilkan sebagai metabolit sekunder yang dikeluarkan secara alamiah oleh spons sebagai akibat dari ekolgi dan aktivitas biologinya di laut sebagai senyawa ubtuk mempertahankan diri bai dari predator, maupu dari kondisi lingkungan yang kurang baik.
Masih banyak lagi senyawa yang belum dimanfaatkan secara efektif dan perlu adanya penelitian berlanjut guna pemanfaatan seoptimal mungkin.















PAPER
DASAR-DASAR BIOTEKNOLOGI

“STEROID DAN ALKALOID PADA SPONS SEBAGAI ANTI KANKER”




TEDI SEPTIADI
K2D 008 077


PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JURUSAN ILMU KEAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2010


DAFTAR PUSTAKA

Bergquist, Patricia R. 1978. Sponges. Hutchinson & Co (Publishers) : London
Herbert, Richard B. 1995. Biosintesis Metabolit Sekunder. penerjemah Ir. Bambang Srigandono, M.Sc. IKIP Semarang Press : Semarang
Scheuer, Paul J. 1994. Produk Alami Lautan dari Segi Kimiawi dan Biologi. Penerjemah Dra. Koensoemardiyah, Apt.SU. IKIP Semarang Press : Semarang
___http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/biokimia/alkaloid_senyawa_organik_terbanyak_di_alam/
___http://id.wikipedia.org/wiki/Alkaloid
___http://www.membuatblog.web.id/2010/03/senyawa-alkaloid.html
___http://nadjeeb.wordpress.com/2009/09/24/bioaktif-alkaloid-dari-laut/

(diakses pada tanggal 10 – 5 210 pukul 21.00 WIB)